Thursday, 27 May 2010

Nikah Menurut Syari'at Islam

1.     Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718). Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini.

2.        Pengertian
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526). Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI : 59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285).
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah.Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329).
3.        Tujuan  Pernikahan
Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21). Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172).
4.        Hikmah Nikah
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciftakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2.      Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3.      Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4.      Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5.      Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6.       Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7.      Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
Oleh karena itu, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqh, Islam juga mengingatkan agar wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian pendahuluan perkawinan ini, menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.

5.        Hukum Perkawinan Negara Muslim
Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).
1.      Masalah batas umur untuk kawin. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki relatif tinggi.
Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).
Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).
2.      Masalah pencatatan perkawinan. Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting deperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105).
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah.
Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah benmtuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.
Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau menmgiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).
Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112).
3.      Masalah cerai di depan pengadilan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu

0 comments:

Post a Comment

 

ARLENK Copyright © 2009 Community is Designed by Bie