Tuesday, 1 June 2010

Membumikan Pancasila

Hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, perlu diperingati oleh bangsa Indonesia untuk menggugah kita kembali menyadari pentingnya dasar Negara Pancasila sebagai filosofi dan ideologi pemersatu bangsa dan Negara.
Ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang sejak era reformasi semakin jarang membahasa konsep Pancasila, baik dalam konteks ketatanegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, maupun akedemik. Meskipun pada pasca reformasi dari pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan kini Susilo Bambang Yudoyono, Pancasila tetap menjadi dasar dan ideologi  Negara, hal itu sebatas pernyataan konstitusi.
Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbauder rechtstherie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan Negara.
Grundnorm disebut juga staas grundnorm, berada di atas undang-undang dasar. Dalam ajaran madzhab sejarah hukum yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny dan bertitik tolak pada volkageist (jiwa bangsa), Pancasila dan digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, muncul fenomena di berbagai lapisan masyarakatan yang hamper tidak pernah lagi mengutip Pancasila dalam pandangannya. Pancasila seperti tenggelam, tidak perlu dimunculkan lagi di ruang public.
Pancasila pun terpinggirkan dan terasing dari dinamika kehidupan bangsa. Dasar Negara ini seperti tidak dibutuhkan , baik dalam kehidupan formal kenegaraan maupun masyarakat sehari-hari.

Revitalisasi Pancasila
Ada keinginan sebagian masyarakat untuk merevitalisasi eksistensi Pancasila, tetapi belum mengerucut jadi gerakan. Dalam sejarah ketatanegaraan, revitalisasi Pancasila sebenarnya pernah berlangsung. Gelombang pertama ketika Pancasila lahir saat Soekarno berpidato. Di depan BPUPKI, 1 Juni 1945. Gelombang kedua, ketika konstituante, pasca Pemilu 1945. Memperdebatkan apakah Pancasila dipertahankan sebagai dasar  Negara atau diganti ideologi lain. Gelombang ketiga saat Pancasila dimanipulasi rezim Soeharto.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila amat sering dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hampir semua pidato Soeharto mengutip Pancasila. Sebagaimana diketahui Cohen, juga Hallin dan Mancini, pidato Presiden mempengaruhi masyarakat terkait realitas sosial politik yang ada.
Pancasila jadi kata kunci pidato Soeharto untuk menunjukkan Orde lama sebagai masa yang penuh kekacauan karena tidak mengamalkan Pancasila. Dalam wacana khas Orde Baru, berbagai penyelewengan, disintegrasi, pemberontakan, dan komunisme adalah praktik penyimpangan terhadap Pancasila.
Lantas mengapa setelah lengsernya Soeharto Pancasila tak terdengar lagi, bahkan muncul keengganan berbagai kalangan mengakui eksistensi Pancasila ? ini akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyelewangan penguasa orde Baru yang mangatasnamakan Pancasila, demi kekuasaan, para penguasa orde baru  monopoli penafsiran Pancasila sesuai kepentingannya. Semua yang dinilai tidak sesuai dicap “anti Pancasila”
Pasca Reformasi muncul kekuatiran, jika Pancasila kembali berperan, berarti Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Pancasila diidentikkan sebagai bagian dari rezim dan ideologi penguasa Orde Baru.
Belajar dari penyelewengan Pancasila oleh pemerintah Orde Baru, kita hendaknya kembali menyadari pentingnya Pancasila sebagai konsep bernegara. Ini mengingat bangsa kita telah kehilangan arah akibat praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan menjadi collapsed state Negara tidak berperforma baik karena fungsi-fungsi Negara tidak membawa Negara keluar dari berbagai kebobrokan internal. Artinya, Negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya terutama saat masyarakat membutuhkan kehadiran Negara.

Tanda-tanda Negara kolaps
Menurut Gregorius Sahdan , Collapsed state ditandai antara lain : kegagalan Negara menyediakan public goods terutama di luar Jawa, banyak sekolah seperti kandang sapi, tidak ada jalan raya kalau ada berlubang-lubang, rumah sakit jauh dari masyarakat miskin pedesaan, air bersih sulit dipenuhi, minyak tanah susah dicari, dan sebagainya.
Collapsed state juga ditandai dengan gagalnya Negara menegakkan supremasi hukum. Mafia hukum justru merajalela sehingga hukum hanya berlaku bagi koruptor pinggiran, bukan pada koruptor kelas kakap.
Semua itu memperlihatkan sikap bangsa yang tidak menghayati nilai-nilai Pancasila. Sikap ini juga tampak pada industrimen regulasi dan kebijakan politik yang bisa memicu disintegrasi bangsa.
Peringatan hari Pancasila kiranya melahirkan komitmen menjadikan Pancasila sebagai perekat yang mempersatukan bangsa dan Negara. Seluruh komponen bangsa hendaknya berhak sama untuk memaknai Pancasila sehingga Pancasila tak lagi diposisikan sebagai milik satu kelompok saja. Apabila ada perbedaan pemaknaan dan penafsiran, itu konsekuensi demokrasi..
Keberhasilan menempatkan kembali Pancasila sangat tergantung pada keteladanan para elite politik dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila. Ini berarti lahirnya jiwa negarawan yang memahami tanda-tanda zaman sehingga dapat membawa bangsa melewati masa-masa sulit.

0 comments:

Post a Comment

 

ARLENK Copyright © 2009 Community is Designed by Bie