Sunday 30 May 2010

Cerpen ( Peri Qur'ani)


Bangunan unik bercorak kuno, berdiri mungil di tengah hamparan sawah desa Tegal Rejo. Bangunan itu dikatakan unik karena berdiri nangkring di atas sawah, dengan lantai panggung agak tinggi dari permukaan air. Menjadikan sejuk setiap orang yang berada didalamnya. Membawa kedamaian yang tak ternilai harganya. Bangunan itu sudah lama dibangun, tapi sekarang masih kokoh berdiri menyangga atap bangunan yang tebuat dari alang-alang.
            Walau bangunan itu tampak tua dan kuno, tapi mempunyai kiprah yang sangat mulia. Bangunan tua itu telah banyak mencetak insan yang berjiwa Qur’ani. Orang-orang desa menyebut bangunan tua itu Pondok Pesantren Putri Al-Khodijah. Al-khodijah dibangun 20 tahun silam oleh K.H. Sholikhin al Hafidz dengan tujuan menampung seluruh anak-anak yang siap dan merelakan dirinya untuk menghafal sekaligus mendalami ilmu Al Qur’an. Alasan KH. Sholikhin membangun Al khodijah di tengah-tengah persawahan tak lain menjauh dari keramaian kota. Membuat suasana sunyi nan nyaman demi kemudahan proses menghafal para santrinya.
***
            Sore nan indah ,langit cerah membentang diatas pondok pesantren Al khodijah. Memberi suasana nyaman berteduh di bawah hamparan awan nan putih. Seperti biasanya semua santri saling sibuk menghafal Al Qur’an. Duduk manis di antara hamparan padi yang telah menguning.
            Di sudut teras terlihat seorang peri mungil bernama Mauliyah. Peri mungil berumuran tiga belas tahunan itu datang dua tahun yang lalu di pondok itu. Dengan tujuan memperdalam ilmu Al Qur’annya. Peri mungil nan malang. Di kala ia dilahirkan, dia sudah tak mempunyai seorang ayah. Ayahnya meninggal ketika terjadi kecelakaan tambang. Ledakan yang terjadi di terowongan penambangan batu bara itu merenggut nyawa ayah peri mungil itu.
            Dua tahun yang lalu peri mungil itu dititipkan di pondok itu. Kebutuhan Ekonomi memaksa sang bunda pergi ke Arab Saudi untuk jadi TKI demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan peri mungilnya. Tampak kesedihan menyelimuti peri mungil itu. Menatap kosong hamparan padi menguning, membiarkan Qur’an kecil dalam genggamannya. Ia merindukan bunda. Sosok tumpuhan hati yang telah pergi meninggalkannya. Dua tahun sudah peri mungil itu tak merasakan pelukan hangat sang bunda, tak pernah mendengar nasehat-nasehat indah yang keluar dari bibir sang bunda.
            Nampak jelas kerinduan yang teramat dalam pada raut muka peri mungil itu. Perlahan mata indah peri mungil itu terliahat sayup. Tak terasa olehnya mata indah itu mengeluarkan air mata, mengalir indah membuat guratan pada pipinya, mengumpul pada pangkal pipinya menjadi butiran kristal air mata. Perlahan butiran kristal itu jatuh satu persatu menerpa lengan peri kecil itu.
“ Lia kamu menangis ? ” sapa ning Atus dari depan pintu kamar. Ning Atus adalah putri Bungsu KH. Sholikhin, dia juga seorang Hafidzhah. Ning Atus pembimbing khusus bagi peri mungil itu. Jadi Ning Atus faham betul akan jati diri peri mungil itu. Ning Atus bisa merasakan kesedihan peri mungil itu.
            “ Nggak ning ” jawab pendek peri mungil itu sambil memalingkan badanya. Ia tak mau tangisannya disaksikan Ning Atus. “ Lia jangan bohong ma ning. Ada apa Lia sayang? Ada yang menyakitimu?” Tanya pendek ning Atus. “ Nggak ada ning. Lia Cuma kangen bunda. Lia rindu akan pelukan hangat bunda” Semakin dalam rasa rindu peri mungil itu tertorehkan. “ Lia sayang, mendekat ning sini !. yakinlah sayang bunda akan baik-baik saja di sana. Bunda juga akan selalu merindukanmu disana.ning yakin itu. Kamu nggak usah menangis lagi, bunda pasti akan sedih jika melihat lia menangis”.
            Pelukan peneduh jiwa pun diberikan ning Atus. Sekedar menenangkan hati peri mungil akan kerinduannya terhadap sosok bunda. “Lia sebenarnya ning punya kabar gembira buatmu” Sambil mengelus bahu indah peri mungil itu ning Atus ngucap.“ kabar apa itu ning?” rasa antusias peri mungil itu bertanya.
“ Lebaran tahun ini bundamu akan kembali ke Indonesia, kemarin bundamu telpon”.                                                                                                                                                     Benarkah ning bunda akan kembali ?” Peri mungil itu melepas pelukan indah ning Atus. Gemelut kerinduan di hatinya sesaat hilang akan rasa bahagia mendengar kabar itu. “ Kalau begitu Lia akan memperlancar setengah hafalanku ini. Lia akan menghadiahkan 15 juz yang telah lia hafal untuk bunda ” ucap peri mungil itu penuh harap. “ Bundamu pasti akan bangga melihat peri mungil berjiwa Qur’aninya ini ” senyum indah ning Atus memberi semangat.
***
            Ini suasana malam lebaran. Semenjak habis magrib tadi suara takbir telah di kumandangkan. Dimana-mana suara beduk telah ditabuh. Semuannya memeriahkan malam kemenangan ini. Selain di surau-surau terdengar lantunan takbir yang memuji tentang kebesaran Ilahi, banyak juga yang melakukan takbir keliling dengan menggunakan truk-truk yang di pasang beduk dan toa-toa besar. Suasana malam ini benar-benar ramai. Bukan hanya di kota saja melainkan penjuru desa pun terlihat meriah dengan pawai obor dalam rangka menyambut hari kemenangan ini.
            Tapi tidak pada suasana pondok pesantren alkhodijah. Di selah semua orang menyambut malam kemenangan justru terjadi peristiwa yang mengharukan. Linangan air mata membasahi lantai panggung pondok itu. Tampak di sudut ruang tamu peri mungil itu duduk bersimpuh di pelukan ning Atus. Peri mungil itu menangisi bundanya. Bunda yang sangat dirindukannya. Sosok bunda yang selalu di harapkan kepulanngannya.  Malam itu bersamaan dengan takbir dikumandangkan terdengar kabar bahwa pesawat yang di tumpangi bundanya mengalami kecelakaan. Menurut berita tak ada satu penumpang pun yang selamat dari kecelakaan naas itu termasuk sang bunda.
“ Ning …bunda telah tiada ning..” bibir kelu peri mungil itu ngucap. “ Sabar ya Lia sayang.Lia harus kuat menerima ini semua.” Ning atus pun tak henti-hentinya memberikan ketabahan pada peri mungilnya. “ Akankah lia di pertemuakn kembali dengan bunda ning”ucap pendek peri mungil  itu. “ tentu sayang. Dengan Qur’an yang kau miliki dengan jiwa Qur’animu. Kelak engkau akan di pertemukan dengan bundamu di taman firdausNya. Yakinlah akan hal itu sayang. Relakan bundamu, bunda akan selalu tersenyum bila melihatmu tersenyum”.
            Suasana ruang itu semakin senyap. Tak ada lantunan takbir kemenangan.tak ada suara yang mengisi ruang itu. Sementara peri mungil itu membiarkan air matannya mengalir membuat parit pada pipi indahnya.mengumpul pada pangkal pipinya menjadi butiran kristal air mata.
                                                                                               
By : Mangun Kuncoro


0 comments:

Post a Comment

 

ARLENK Copyright © 2009 Community is Designed by Bie